Buntu Pepana, Mambi
Dulu, selalu saja ada yang meledek: Mambi tak tercantum di peta -- peta Sulawesi Selatan sekali pun. Mungkin karena letaknya yang di tengah belantara, seratus delapan kilometer dari Polewali, ibukota kabupaten Polman.
Sampai tahun 1987, mobil pun belum menjejak jalan-jalan desa ini. Mungkin karena itu, saya pernah begitu lincah menunggang kuda, satu-satunya yang bisa mengantar saya, juga orang-orang kampung di sana, menguak belantara menuju kota tempat peradaban lain berada.
Agustus silam (2003), dari tanah di tengah rimba ini muncul berita yang menghentakku, Mambi rusuh, tiga warga tewas. Warga di sana menolak bergabung dengan Mamasa, kabupaten yang baru dibentuk. Orang-orang kampung yang tak berdosa menjadi korban politik praktis para elit yang tidak kebagian tahta. Propokator konflik SARA gentayangan di seantero belantara Mambi Pitu Ulunna Salu. Saya berdoa di setiap tarikan napas, untuk ribuan warga di sana yang mengungsi, untuk mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tersaruk-saruk menembus belantara mencari selamat.
Saya selalu teringat masa-masa indah itu. Bila musim panen tiba, pesawahan di Mambi akan riuh rendah. Saat-saat seperti ini, bulan April dan Desember setiap tahunnya, kegembiraan menyelusup ke semua rumah, penghuninya tertawa lepas. Dan di kampung, ada kegembiraan lain.
Bagi anak-anak Mambi, juga di desa-desa sekitarnya, musim panen bisa berarti: saatnya bermain juppi'. Maka, berbatok-batok tempurung kelapa pun dipilah, diasah dan dibentuk sedemikian rupa menjadi juppi' kebanggaan. Bocah-bocah bertelanjang dada ini berkeliling kampung mencari penantang. Jika telah cukup dua orang -- dan sedikit penonton -- jadilah permainan ini digelar di tanah kering yang agak lapang. "Tak, tuk, tek...," dan pecahan tempurung yang disontek dengan bilah bambu rautan pun melayang. Jika juppi' lawan kena, sang bocah pecundang bersorak. "Paroa a' kao (kena)!" Jika meleset, giliran tempurung miliknya jadi sasaran.
Jelang satu bulan berlalu, saat padi hasil panen telah dijemur di tara'de -- jemuran padi di tiang kayu berpalang bambu -- rasa bosan pada juppi' mulai menghinggapi benak para bocah ini. Mereka mengemas tempurung itu di balik lumbung, sembari berharap, jika musim juppi' tiba waktu panen mendatang, mereka masih bisa menggunakannya.
Kebosanan bocah-bocah itu segera sirna begitu gabah-gabah mengering dan siap dimasukkan ke lumbung. Saat itu pula permainan berganti: gasing. Sepulang sekolah, mereka menyebar ke seluruh pelosok kampung, mencari pokok kayu pilihan yang seratnya rapat, keras dan tak tembus paku gasing lawan. Bermeter-meter tali rafia dibeli, atau sekadar sisa pengikat, dan di tangan cekatan sang bocah, dipilin jadi tali pemutar gasing. Begitulah seterusnya, permainan anak-anak di Mambi berganti, mengikuti daur padi, dari panen ke panen. Tak ada rasa bosan berkepanjangan, karena, setelah juppi' dan gasing, permainan lain menunggu. Kelereng, layang-layang, baling-baling, egrang, dan juga kertas wayangan.
Tapi, sungguh, semua itu tinggal kenangan. Kini, dari panen ke panen, Mambi tak lagi riuh suara bocah. Decak dan tawa mereka, kini diredam deru mobil dan klakson. Sejak 15 tahun terakhir -- setidaknya, sejak Mambi berubah, mobil-mobil berseliweran dan gemuruh mesin perontok padi sudah terdengar di pesawahan -- tak ada lagi permainan dengan roster panen. Di tangan bocah-bocah Mambi kini, game watch, video game Nintendo atau Play Station Sony, lebih mengasyikkan: ada pesawat tempur, tetris, kapal perang. Mainan-mainan ini mengeluarkan bunyi, musik, bergerak, bergetar. Kini, Mambi sungguh berubah. Alih-alih meraut buluh untuk layangan atau memilin tali rafia untuk gasing, membelah batok kelapa pun kini berat bagi mereka. Permainan-permainan instan sudah tersaji tanpa kerja keras, humor dan anekdot -- permainan yang membuat mereka punya sejenis pekik merdeka dari jiwa yang bebas lepas. Juga permainan yang membuat saya seperti ini: tak henti dihentak kerinduan.