Selasa, 13 Januari 2009

Mambi: Gasing Tinggal di Awan

Kutulis dan kusarikan ulang dari tulisan Saudaraku - Tomi Lebang.


Buntu Pepana, Mambi

Mambi, tanah dataran (Land) yang selalu mengetuk detak rinduku. Di bawah kaki gunung Pepana, dipangkuan Tanete (bukit) Manta, Mambi memancarkan cahayanya yang meredup beberapa tahun terakhir ini. Bahkan lambat laun, bayangan tentang Mambi, tanah kelahiranku itu, kian meredup bersama jarak dan waktu yang kian terentang panjang.

Dulu, selalu saja ada yang meledek: Mambi tak tercantum di peta -- peta Sulawesi Selatan sekali pun. Mungkin karena letaknya yang di tengah belantara, seratus delapan kilometer dari Polewali, ibukota kabupaten Polman.

Sampai tahun 1987, mobil pun belum menjejak jalan-jalan desa ini. Mungkin karena itu, saya pernah begitu lincah menunggang kuda, satu-satunya yang bisa mengantar saya, juga orang-orang kampung di sana, menguak belantara menuju kota tempat peradaban lain berada.
Agustus silam (2003), dari tanah di tengah rimba ini muncul berita yang menghentakku, Mambi rusuh, tiga warga tewas. Warga di sana menolak bergabung dengan Mamasa, kabupaten yang baru dibentuk. Orang-orang kampung yang tak berdosa menjadi korban politik praktis para elit yang tidak kebagian tahta. Propokator konflik SARA gentayangan di seantero belantara Mambi Pitu Ulunna Salu. Saya berdoa di setiap tarikan napas, untuk ribuan warga di sana yang mengungsi, untuk mereka yang berjalan tanpa alas kaki, tersaruk-saruk menembus belantara mencari selamat.

Saya selalu teringat masa-masa indah itu. Bila musim panen tiba, pesawahan di Mambi akan riuh rendah. Saat-saat seperti ini, bulan April dan Desember setiap tahunnya, kegembiraan menyelusup ke semua rumah, penghuninya tertawa lepas. Dan di kampung, ada kegembiraan lain.

Bagi anak-anak Mambi, juga di desa-desa sekitarnya, musim panen bisa berarti: saatnya bermain juppi'. Maka, berbatok-batok tempurung kelapa pun dipilah, diasah dan dibentuk sedemikian rupa menjadi juppi' kebanggaan. Bocah-bocah bertelanjang dada ini berkeliling kampung mencari penantang. Jika telah cukup dua orang -- dan sedikit penonton -- jadilah permainan ini digelar di tanah kering yang agak lapang. "Tak, tuk, tek...," dan pecahan tempurung yang disontek dengan bilah bambu rautan pun melayang. Jika juppi' lawan kena, sang bocah pecundang bersorak. "Paroa a' kao (kena)!" Jika meleset, giliran tempurung miliknya jadi sasaran.

Jelang satu bulan berlalu, saat padi hasil panen telah dijemur di tara'de -- jemuran padi di tiang kayu berpalang bambu -- rasa bosan pada juppi' mulai menghinggapi benak para bocah ini. Mereka mengemas tempurung itu di balik lumbung, sembari berharap, jika musim juppi' tiba waktu panen mendatang, mereka masih bisa menggunakannya.

Kebosanan bocah-bocah itu segera sirna begitu gabah-gabah mengering dan siap dimasukkan ke lumbung. Saat itu pula permainan berganti: gasing. Sepulang sekolah, mereka menyebar ke seluruh pelosok kampung, mencari pokok kayu pilihan yang seratnya rapat, keras dan tak tembus paku gasing lawan. Bermeter-meter tali rafia dibeli, atau sekadar sisa pengikat, dan di tangan cekatan sang bocah, dipilin jadi tali pemutar gasing. Begitulah seterusnya, permainan anak-anak di Mambi berganti, mengikuti daur padi, dari panen ke panen. Tak ada rasa bosan berkepanjangan, karena, setelah juppi' dan gasing, permainan lain menunggu. Kelereng, layang-layang, baling-baling, egrang, dan juga kertas wayangan.

Tapi, sungguh, semua itu tinggal kenangan. Kini, dari panen ke panen, Mambi tak lagi riuh suara bocah. Decak dan tawa mereka, kini diredam deru mobil dan klakson. Sejak 15 tahun terakhir -- setidaknya, sejak Mambi berubah, mobil-mobil berseliweran dan gemuruh mesin perontok padi sudah terdengar di pesawahan -- tak ada lagi permainan dengan roster panen. Di tangan bocah-bocah Mambi kini, game watch, video game Nintendo atau Play Station Sony, lebih mengasyikkan: ada pesawat tempur, tetris, kapal perang. Mainan-mainan ini mengeluarkan bunyi, musik, bergerak, bergetar. Kini, Mambi sungguh berubah. Alih-alih meraut buluh untuk layangan atau memilin tali rafia untuk gasing, membelah batok kelapa pun kini berat bagi mereka. Permainan-permainan instan sudah tersaji tanpa kerja keras, humor dan anekdot -- permainan yang membuat mereka punya sejenis pekik merdeka dari jiwa yang bebas lepas. Juga permainan yang membuat saya seperti ini: tak henti dihentak kerinduan.

Mawang, Anak Mambie



Nurmawansyah Rahman, dengan nama kecil Mawang, lahir di Mambie pada tanggal 10 Mei 1977. Putra pertama Abdul Rahman Enang. Mambie sebagai tanah kelahiranku bukan hanya sebagai tempat lahir tapi juga sebagai tanah kebanggaanku. Bangga sebagai salah satu Putra Mambie "Bumi Lantang Kada Nene". Bangga sebagai salah satu penganut "Adat Hidup". Sebuah falsafah hidup yang selaras dengan paham Ketuhanan.
Mawang kecil melewatkan masa kecilnya di desa Mambi Kabupaten Polmas kala itu. Menyelesaikan Sekolah Dasar tahun 1989 dan Sekolah Menengah Pertama tahun 1992 di Mambi. Keceriaan masa kecil dikecapnya di tengah pegunungan yang mengisolasi Mambi dari aroma perkotaan kala itu.

Nanti lah setelah awal tahun 1987, Mambi perlahan meretas menjadi kota kecil namun tetap berselimut kesejukan nan asri. Pembangunan mulai digiatkan pemerintah Kabupaten Polmas kala itu. Sedikit demi sedikit infrastruktur dibangun di sana sini. Pasar Mambi pun mulai ramai didatangi oleh para pedagang dari luar Mambi. Sungguh indah kenangan itu.

Ada kah aku bisa kembali ke sana bersama Mambi ku yang kini (tahun 2009) kembali terisolasi oleh peradaban moderen. Membayangkan saja aku tak sanggup, karena apa? Karena Jalan menuju kesana rusak parah - kembali ke tahun 70 - 80 an. Wow....

Mawang remaja menghabiskan masa remajanya di Makassar. Karena selepas tamat SMP, Mawang melanjutkan pendidikan di Kota Makassar. Menjadi siswa SMA Negeri 2 Makassar - Ujung Pandang kala itu, menjadi kebanggaan tersendiri bagi diri Mawang. Anak desa sekolah di Sekolah Unggulan. Tahun 1995, Mawang menamatkan pendidikan di SMA Negeri 2 Makassar dengan Nilai Ebtanas Murni 51,20 - nilai yang cukup pantastis untuk ukuran Mambi ataupun Polmas.

Politeknik Negeri Ujung Pandang (UNHAS) Jurusan Akuntansi menjadi pelabuhan pendidikan selanjutnya pada tahun 1995. Tahun 1998, Nurmawansyah Rahman menyelesaikan pendidikannya di Politeknik Negeri Ujung Pandang, dan wisuda pada bulan April 1999. Tugas Akhir yang berhasil diselesaikan Mawang - Nurmawansyah Rahman di Politeknik Negeri Ujung Pandang berjudul "Perancangan Program Komputer Akuntansi Persediaan", yang mendapat apresiasi dari Pihak Dosen Jurusan Akuntansi dan Pihak Politeknik Negeri Ujung Pandang maupun rekan-rekan se-angkatan Mawang. Dengan bekal sebagai anak Mambi, Mawang - Nurmawansyah Rahman dapat melaluinya dengan baik.


Kini, (tahun 2009) Mawang tercatat sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Inspektorat Kota Makassar sejak Tahun 2006.