Kenneth M. George
Bahasa yang digunakan di wilayah dataran tinggi Pitu Ulunna Salu (P.U.S) tidak banyak referensi tertulis yang menjelaskan secara tuntas terkait itu. Dan salah satu yang menarik disajikan disini adalah sekilas hasil penelitian Kenneth M George - seorang spesialis dalam bidang politik budaya agama, seni, dan bahasa di Asia Tenggara. Dia merupakan seorang Profesor Antropologi di College of Asia dan Pasifik di Universitas Nasional Australia, setelah sebelumnya bertugas di University of Wisconsin - Madison (1999-2013), Universitas Harvard (1990-1996), dan sebagai Editor Jurnal Studi Asia (2005-2008). Dia juga pernah memegang posisi mengajar di University of Oregon, Tulane, dan University of South Carolina. Penelitiannya terkait etnografi dan linguisti (bahasa) yang pernah dilakukannya di wilayah Mambi - Pitu Ulunna Salu dan ditulis dalam bukunya berjudul “Showing Signs of Violence: The Cultural Politics of a Twentieth-Century Headhunting Ritual, diterbitkan oleh University of California Press - Berkeley, Tahun 1996”.
Sejak tahun 1850, perbudakan, pemberontakan, migrasi, dominasi Bugis atas pasar, bahasa dan administrasi nasional atau kolonial, Kristen, Islam, literasi, dan media penyiaran telah membuat komunitas tutur terus berubah. Sebaran sosial dan geografis bahasa serta dialek di dataran tinggi Sulawesi Selatan cukup kompleks dan menyulitkan klasifikasi. Sementara itu, medan terjal dan karakter konservatif yang agak tertutup dari kampung-kampung dataran tinggi karena adanya pengelompokan kampung telah berpengaruh mengontrol penyebaran dan difusi bahasa.
Secara umum, komunitas tutur yang berbeda membentuk rantai dialek di seluruh Wilayah Pitu Ulunna Salu – pola yang mencerminkan kedekatan geografis, interaksi politik dan sosial, migrasi, dan sejarah komunitas tersebut. Banyak penduduk Pitu Ulunna Salu – terutama laki-laki – yang mahir (atau memiliki pengetahuan dasar) beberapa dialek pegunungan, sebagian bahasa Indonesia, sebagian bahasa Bugis, dan juga sebagian bahasa Mandar.
Berdasarkan pengetahuannya tentang wilayah Pitu Ulunna Salu, Kenneth M. George setuju dengan Strømme (1985) bahwa subfamili linguistik Pitu Ulunna Salu harus dibedakan dari pengelompokan Mandar dan Sa'dan. Penggolongan seperti itu juga sangat sesuai dengan pandangan masyarakat dataran tinggi dari Pitu Ulunna Salu.
Adapun diferensiasi dasar dialek berantai dengan kelompok Pitu
Ulunna Salu, temuan sementara Strømme, berdasarkan survei leksikostatistik
(tetapi informasi sejarah dan sosiolinguistik yang kurang memadai atau kurang
dipahami). Dia mengidentifikasi tiga kelompok bahasa:
1)
Aralle-Tabulahan, dengan tiga dialek dan 12.000 penutur;
2)
Pitu Ulunna Salu, dengan delapan dialek dan 22.000 penutur; dan
3) Pannei, dengan dua dialek dan 9.000 penutur.
Dialek Timur menunjukkan hubungan serumpun yang lebih kuat dengan sub-keluarga Sa'dan daripada yang barat. Dialek barat berkorelasi lebih dekat dengan Mandar daripada dialek timur.
Ketika berbicara tentang bahasa daerah mereka, orang-orang dataran tinggi Pitu Ulunna Salu terkadang menyebut Aralle-Tabulahan sebagai bahasa "ibu" (basa indo) dari Pitu Ulunna Salu, dan bahasa Bambang dan daerah-daerah di selatannya sebagai bahasa "ayah" (basa ambe).
Klasifikasi yang memiliki hubungan dengan asal-usul mitos
persekutuan Pitu Ulunna Salu. Lebih sering penduduk kampung mengidentifikasi
dialek mereka berdasarkan wilayah (misalnya basa Mambi atau basa Aralle).
Ketika pembedaan lebih lanjut perlu dibuat—biasanya untuk alasan sosial atau
politik daripada alasan "ilmiah" – mereka menyebutkan dialek kampung, yaitu yang
diasosiasikan dengan kampung tertentu.-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar