Sebuah catatan pada tahun 1924
menyatakan bahwa seorang tokoh militer yang tidak disebutkan namanya
menggambarkan penduduk dari Pitu Ulunna Salu sebagai "pesisir
Toraja", sebuah pernyataan yang tidak sesuai jika diartikan sebagai
"pesisir dataran tinggi". Bagi kebanyakan orang luar, orang-orang di
wilayah Mambi – Pitu Ulunna Salu adalah etnis yang marjinal dan ambigu. Tentu
saja, pergeseran afiliasi etnis dan batas-batas di masa lalu mungkin pernah
memberi mereka otonomi dan visibilitas yang lebih besar.
Tetapi selama 50 tahun terakhir atau
lebih, mereka telah menghilang dari peta etnis Sulawesi Selatan. Sebuah peta
yang dibangun sebagian, melalui kepentingan kolonial dan nasional dalam
mengidentifikasi pluralitas masyarakat dan budaya yang dapat diatur. Peta itu
hanya mencakup empat kelompok etnis — Bugis, Makassar, Mandar, dan Toraja —
yang masing-masing dianggap memiliki bahasa, budaya, dan wilayah perapian yang
berbeda. Tergantung pada kepentingan sosial, politik, dan agama mereka.
Kebanyakan orang luar akan mengenali
daerah terpencil Mambi (Pitu Ulunna Salu) sebagai Mandar atau Toraja. Sementara
itu, masyarakat Mambi (Pitu Ulunna Salu) menyebut diri mereka Todiulunna Salu ,
"orang hulu". Meskipun faktor ekonomi dan agama dapat menjadi titik
kontras dan perbandingan, masyarakat hulu biasanya membedakan komunitas mereka
dari Mandar dan Toraja berdasarkan bahasa, adat, dan sejarah. Meskipun penduduk
yang beragama Kristen kadang-kadang menekankan kedekatan bahasa dan budaya
mereka dengan Sa'dan dan Mamasa Toraja. Masyarakat Mambi – Pitu Ulunna Salu
secara umum mengakui sejarah panjang keterlibatan dengan Mandar. Sambil
mengenali ikatan semacam itu, penduduk dataran tinggi berhati-hati untuk
menunjukkan perbedaan sosial dan budaya yang menandai dan membentuk tatanan
etnis mereka sendiri.
Komunitas bahasa di wilayah
pegunungan Pitu Ulunna Salu beragam, polilingual, dan berubah-ubah. Namun pada
umumnya komunitas ini membentuk rantai dialek di seluruh wilayah, sebuah pola
di mana bahasa kampung atau wilayah tetangga berbagi fitur leksikal,
gramatikal, dan pragmatis yang signifikan. Maka dalam arti tertentu, bahasa
Salu Mambi membentuk jembatan linguistik antara Toraja dan Mandar. Rantai
"dialek" (yaitu komunitas tutur dengan kepentingan sosial, politik,
dan budaya yang nyata) telah mencegah munculnya satu bahasa hulu atau standar linguistik.
Bahkan ambiguitas, polilingualisme, dan "perkawinan" bahasa asing
menjadi inti identitas etnis Todiulunna Salu.
Etnis hulu kontemporer sangat
bergantung pada sejarah tutur akan tatanan politik dataran tinggi yang sekarang
telah lenyap. Pada abad keenam belas, pemukiman perbukitan yang tersebar di
Daerah Aliran Sungai MambiE, berkumpul di bawah perjanjian kepentingan bersama
untuk membentuk persekutuan politik yang relatif egaliter yang disebut Pitu
Ulunna Salu, "Tujuh Hulu Sungai". Anggota persekutuan bukanlah satu
kampung (lemba), tetapi homogen secara sosial. Wilayah multi-kampung
(pa'lembangan) yang penduduknya mengakui nenek moyang yang sama dan tradisi
adat yang sama. Ketujuh "wilayah adat" pendiri itu adalah Tabulahan, Bambang, Mambi, Aralle, Rantebulahan, Matangnga, dan Tabang . Faktor kunci yang
tampaknya menyatukan wilayah adat ini sebagai Pitu Ulunna Salu adalah
kekhawatiran bersama di dataran tinggi atas perdagangan dan konflik dengan
orang luar, dan khususnya dengan pantai Mandar. Memang, catatan lisan berbicara
tentang persekutuan dataran tinggi sebagai tanggapan terhadap organisasi
politik Mandar, di mana wilayah Balanipa mengambil alih kekuasaan atas enam
komunitas pesisir lainnya dengan mendirikan Pitu Ba'bana Binanga, "Tujuh Muara Sungai".
Selama tiga abad berikutnya,
persekutuan Pitu Ulunna Salu mengalami gejolak dan perubahan ketika hubungan
kekuasaan regional dan pulau bergeser. Namun rubrik Pitu Ulunna Salu bertahan
hingga akhir abad ke-19 sebagai sarana dan metafora untuk kerja sama politik
dataran tinggi. Seiring dengan ada' tuo, perjanjian Pitu Ulunna Salu tidak
diragukan lagi mempromosikan afiliasi etnis di wilayah dataran tinggi. Dan
kurang dari 50 tahun kemudian, batas-batas etnis dan politik Pitu Ulunna Salu
akan dibangkitkan di bawah perintah kolonial Belanda untuk membangun dan
mengesahkan sebuah distrik administratif pegunungan (1917, Staatsblad No. 43).
Namun dengan datangnya tatanan Indonesia, Pitu Ulunna Salu sekali lagi
tenggelam dalam ketidakjelasan, dan dengan itu memudarkan visibilitas etnis
masyarakat hulu.
Gambaran etnis Todiulunna Salu hari
ini tidak kalah ambigunya dengan yang ditawarkan dalam laporan patroli anonim
tahun 1924. Baik Mandar maupun Toraja, tetapi ada sesuatu di antaranya: Toraja
pesisir? Mandar pedalaman? Saat Pitu Ulunna Salu semakin jauh ke masa lalu,
"Todiulunna Salu" semakin ketinggalan zaman sebagai sebutan etnis.
Beberapa orang kembali ke mosaik identitas teritorial—seperti ToMambi,
ToAralle, ToBambang, orang dari Mambi, dari Aralle, dari Bambang. Sedangkan
yang lainnya sudah mulai mengadopsi identitas dari kabupaten-kabupaten
Indonesia kontemporer.
Misalnya, bukan hal yang aneh
mendengar seseorang dari daerah Mambi – Pitu Ulunna Salu mengaku sebagai orang
Polmas, "orang dari Kabupaten Polewali-Mamasa," sebelum dimekarkan
menjadi Kabupaten Polewali Mandar dan Kabupaten Mamasa. Namun, mayoritas orang
di sepanjang Salu Mambi menganggap diri mereka Todiulunna Salu, atau
orang-orang hulu sungai.